Di tengah semilir angin Hutan Bambu yang sejuk dan rindang, Desa Sumbermujur, Kecamatan Candipuro, menjelma menjadi panggung budaya dan spiritual yang memukau. Grebeg Suro, tradisi tahunan yang digelar Jumat (27/6/2025) dalam rangka menyambut Tahun Baru Islam 1 Muharram 1447 H, bukan sekadar perayaan seremonial. Ia adalah representasi hidup dari warisan kearifan lokal yang terus tumbuh bersama zaman.
Sebanyak 26 gunungan hasil bumi berisi aneka sayur, buah, dan tanaman hasil panen lokal diarak meriah oleh warga, diiringi tarian tradisional Oleng dan lantunan doa para sesepuh. Prosesi ini bukan hanya tentang simbolisasi kemakmuran, tetapi juga ritual syukur atas berkah alam sekaligus doa keselamatan dari potensi bencana yang sewaktu-waktu bisa datang dari Gunung Semeru.
“Gunungan ini adalah doa yang dibentuk dengan tangan dan semangat gotong royong. Setiap lemparan sayur adalah lambang berbagi rezeki, memperkuat solidaritas sosial,” terang Yayuk Sri Rahayu, Kepala Desa Sumbermujur.
Sejak pagi hari, ribuan warga memadati lokasi. Ketika prosesi doa usai, suasana berubah riuh: warga berebut isi gunungan dengan penuh suka cita, sebuah simbol keberkahan yang dipercaya membawa kebaikan bagi rumah tangga mereka.
Yang menarik, Grebeg Suro tak lagi hanya milik warga lokal. Wisatawan dari berbagai penjuru, bahkan mancanegara, mulai menjadikan acara ini sebagai spiritual tourism experience. Salah satunya, Jhuri Romadhon, turis asal Kuba, menyebut perayaan ini sebagai “refleksi unik antara manusia, alam, dan nilai-nilai harmoni sosial yang tidak bisa ditemukan di tempat lain.”
Grebeg Suro, dalam konteks kekinian, menunjukkan bagaimana budaya lokal mampu menjadi medium untuk membangun narasi besar: ketahanan budaya, kesadaran ekologis, dan promosi pariwisata berbasis komunitas.
“Tradisi ini bukan hanya tentang masa lalu, tapi tentang cara kita mendidik generasi untuk hidup selaras dengan alam, menjaga akar budaya, dan membuka diri pada dunia,” tambah Yayuk.
Bagi Lumajang, momentum Grebeg Suro adalah modal sosial dan budaya yang sangat berharga. Di tengah gempuran budaya global, tradisi ini menjadi jangkar identitas yang mengikat masyarakat, sekaligus jendela yang memperlihatkan keelokan spiritualitas dan keramahtamahan masyarakat Semeru kepada dunia.
Dengan narasi yang kuat, visual yang khas, serta partisipasi lintas generasi, Grebeg Suro berpeluang besar dikembangkan sebagai agenda wisata budaya nasional bahkan internasional, tentu dengan tetap menjaga keaslian dan ruh tradisinya.
Di kaki Semeru, Satu Muharram bukan hanya penanda tahun baru, melainkan juga ajakan untuk memperbarui semangat persatuan, kearifan lokal, dan cinta pada bumi pertiwi. (MC Kab. Lumajang/Ad/An-m)